PUTIH ABU-ABU
Saya akan flashback dulu beberapa tahun kebelakang, tepatnya pada tahun 2010, Ketika wakil kepala sekolah bagian kesiswaan mengumumkan kelulusan. Perasaan deg-degan, tegang, keringat dingin, semua itu sirna sudah, setelah tahu hasilnya ternyata saya lulus, dengan nilai yang lumayan baik. Sorak soray serta ucapan syukur pun terlontar dari para siswa yang telah dinyatakan lulus, termasuk diantaranya adalah saya.
Masih teringat
jelas saat sahabat-sahabat terdekat saling bertukar cerita mengenai apa yang
akan dilakukan setelah lulus dari SMA. Ada yang akan kuliah ke luar pulau,
kuliah berbeda kota, ada yang akan berwirausaha, dan ada pula yang akan
menikah. Haru, bahagia, dan berbagai rasa lainnya campur aduk.
Angan-angan saya
melayang membayangkan betapa menyenangkannya nanti kalau sudah melanjutkan
sekolah ke perguruan tinggi di kota, dengan segala segala fasilitas lengkap
yang dimilikinya, juga pengalaman
lainnya yang pasti nanti akan saya dapatkan. Setelah menjalani belasan tahun masa pendidikan
sebagai pelajar dengan segala keterbatasan fasilitas dan informasi yang ada di Desa, Kelulusan ini merupakan
pintu gerbang menuju kebebasan akses informasi dan fasilitas yang dimiliki
perkotaan.
Walaupun sangat
menyenangkan mengetahui kalau 12 tahun fase saya sebagai pelajar telah berakhir,
dan akan melanjutkan kuliah di kota. Harus diakui masa Putih abu-abu menurut saya
adalah masa yang paling menyenangkan. Kalau ngakak, ya sengakak-ngakak nya,
kalau main, ya semain-mainnya. Tanpa memahami efek yang akan terjadi. Karena
mungkin pemahaman saya waktu itu masih dangkal.
Contoh saat itu
saya sangat suka main playstation, walaupun uang jajan habis dipakai buat
rental main Playstation, lah bodo amat, yang penting happy. Padahal kalau
difikir-fikir itu uang yang dipakai buat rental playstation kalau dikumpul-kumpul
sepertinya sudah bisa membeli consol Playstation sendiri.
Bawaannya
penasaran, selalu mau tahu hal-hal yang baru, padahal hal itu belum tentu baik.
Kenapa begini, apa benar yang diceritakan orang-orang, dan berbagai pertanyaan
lainnya. karena itulah kalau diibaratkan Padi, masa SMA itu, Padi yang masih
hijau, belum berpengalaman, baru bisa mempertanyakan sesuatu tanpa tahu
jawabannya apa.
Jadi karena
tidak tahu ya lurus-lurus saja, happy-happy saja, gak kefikiran efeknya seperti
apa. Kalaupun sudah tahu, tapi belum Faham. Misalnya begini, Kata Orang, “rasa
indomie goreng itu, gurih, manis, pedas, pokoknya enak”.
Setelah membuat dan
memakan sendiri “indomie Goreng” tersebut barulah faham ternyata ada banyak
rasa lainnya diluar itu, seperti ada bau bawang goreng diantara kriuk-kriuknya,
lama merebus juga ternyata mempengaruhi cita rasanya, dan ternyata memang enak.
Tetapi memang setelah keseringan memakan mie, saya merasakan ada yang tidak
beres dengan kesehatan perut saya, setelah itu barulah faham bahwa yang Orang
Katakan itu informasinya tidak lengkap.
Mungkin begitu
juga cara saya menyikapi kehidupan pada saat itu, keputusan-keputusan yang diambil masih
berdasarkan atas informasi “Kata Orang”, padahal saya belum memahaminya,
makanya kebanyakan yang dirasakan itu ya senang-senang saja, karena belum
memahami kedepannya efek yang akan
ditimbulkan dari setiap keputusan dan sikap yang saya buat.
Hah... sembilan tahun sudah masa
SMA itu berlalu,
tetapi rasanya seperti baru kemarin saja.
Comments
Post a Comment